UU Rumah Susun dinilai turunkan minat pengembang
Bisnis Indonesia. JAKARTA: Pemerhati perumahan dan permukiman menilai adanya ketentuan dalam UU Rumah Susun terkait dengan kewajiban pengembang membangun 20% dari total luas lantai rusun komersial untuk rusun kelas menengah ke bawah akan menurunkan minat pengembang membangun rumah susun sejahtera milik (rusunami).
Direktur Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan karenanya perlu dibedakan aturan dan mekanisme antara kategori pengembang menengah dan pengembang mewah. "Pengembang mewah memang seharusnya diwajibkan membantu pengadaan rusunami untuk rakyat baik dengan tanah pemerintah atau tidak. Bisa juga dibuat aturan sebagai corporate social responsibility (CSR) pengembang properti," kata Ali,kemarin.
Dengan demikian, lanjutnya maka biaya pembangunan rusun tidak sepenuhnya menjadi beban pemerintah. Program ini pun seharusnya bisa menyentuh program peremajaan lingkungan kumuh tanpa membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Menurut Ali kewajiban membangun 20% perlu ada aturan lanjutan yang mengaturnya karena tidak dapat diberlakukan kepada semua pengembang apartemen. "Kewajiban progres 20% akan menyulitkan pendanaan untuk pengembang kecil dan perlu aturan yang lebih jelas karena tidak akan menyelesaikan percepatan pengadaan rusun murah," imbuhnya.
Chief Executive Officer PT Bakrie Swasakti Utama Agus J. Alwie mengatakan pihaknya menyangsikan percepatan pembangunan rusun di kawasan perkotaan akan terwujud dengan adanya kewajiban tersebut.
"Adanya ketentuan 20% pengembang rusun komersial untuk membangun rusun bagi kelas menengah bawah sebetulnya mirip dengan hunian berimbang yang diatur dalam UU Perumahandan Kawasan Permukiman (PKP) dan itu tidak jalan. Bagi kami yang terpenting adalah mekanisme pelaksanaannya," kata Agus kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.
Tepat sasaran
Menurut Agus pemerintah belum menemukan cara bagaimana mekanisme pelaksanaan agar kepemilikan rusun memang benar-benar tepat sasaran yakni bagi masyarakat menengah ke bawah. "Bisa saja nanti dalam pembangunan rusun bagi masyarakat menengah ke bawah di dalam kawasan rusun mewah, tetapi pada pelaksanaan mereka akan membeli 3-4 unit tidak dihuni tetapi untuk dijual kembali," imbuhnya. Agus menjelaskan kewajiban yang terkesan memaksakan kepada pengembang tersebut dapat saja tidak dilaksanakan pengembang dengan berbagai alasan untuk menghindari.
Senada dengan hal tersebut, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estate Indonesia (DPP REI) Setyo Maharso menilai kewajiban pembangunan 20% untuk rusun masyarakat menengah ke bawah akan membebani pengembang yang membangun rusun komersial di daerah yang masih memiliki ketersediaan lahan cukup luas. "Seharusnya di dalam UU Rusun tidak disebutkan secara mendetail persentase yang harus disediakan pengembang karena akan membebani. Contohnya di Kalimantan atau Sumatra yang lahannya masih luas, tentu pengembang lebih memilih untuk membangun rumah tapak (landed house)," kata Setyo
Menurutnya dalam UU Rusun tersebut masih diperlukan bagaimana petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis).
Sementara itu, Ketua Panitia Kerja DPR untuk RUU Rusun Mulyadi Mulyadi mengatakan bagi pengembang yang tidak melaksanakan kewajiban membangun 20% rusun bagi MBR dari total luas lantai rusun komersial yang dibangun akan diberikan sanksi pidana atau denda senilai Rp20 miliar yang diserahkan kepada pemerintah. "UU Rusun ini sangat berpihak kepada masyarakat kelas menengah ke bawah," kata Mulyadi, beberapa waktu lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar